Tentang Indonesia's Geographical Indication Show (IGIS) 2022

Saat kita menyesap harumnya teh Preanger sambil menikmati cinnamon roll, sesungguhnya kita sedang menikmati secuil kekayaan Indonesia. Pernahkah terbayang oleh kita, bagaimana kopi, teh, lada, kayu manis, garam dan sebagainya bisa sampai ada di dapur atau di atas meja makan kita?

 

Dalam dunia gastronomi ada istilah “From farm to cup, they come from far”. Memahami kalimat sederhana itu kuncinya hanya satu, yaitu apresiasi. Jika kita puas dengan suatu olahan kopi misalnya, biasanya kita hanya akan mengacungkan jempol ke barista. Padahal faktanya, yang menentukan cita rasa kopi adalah 60% proses di lahan, 30% proses roasting dan 10% kepiawaian si barista. Dengan kata lain, ketika kita memahami sedikit saja proses bagaimana sesendok kopi atau sejumput lada bisa sampai ke tangan kita, maka narasi tentang bagaimana petani bekerja mengelola keunggulan geografisnya sehingga bisa melahirkan reputasi, karakter serta keunikan cita rasa produknya, itu akan mendorong kita untuk lebih mengapresiasi secuil kekayaan Indonesia yang singgah di atas meja makan kita. 

 

Sebuah riset yang dilakukan sejumlah portal media bisnis regional asia, menunjukkan bahwa saat ini kuliner merupakan bidang usaha yang paling banyak diminati oleh investor. Riset tersebut juga menyajikan pembahasan tentang tren pertumbuhan industri F&B, termasuk startup kuliner. Kabar gembiranya adalah, saat ini startup kuliner di Indonesia mendominasi pendanaan di regional asia hingga mencapai lebih dari US$ 644 juta yang berasal dari pemodal swasta, baik dari dalam maupun luar negeri. Sektor kuliner makin terbuka lebar, dan tentu ini bisa menjadi pintu masuk bagi produk pertanian pangan Indikasi Geografis asli Indonesia untuk melakukan penetrasi pasar sekaligus meningkatkan peluang perdagangan dan arus investasi. 

 

Apa itu Indonesia’s Geographical Indication Show (IGIS)?

IGIS adalah sebuah inisiatif untuk menunjukkan bahwa Indikasi Geografis lebih dari sekadar soal perlindungan dan pengakuan hukum atas produk olahan alam dan budaya. Melalui pendekatan jurnal kuliner, IGIS ingin mengajak seluruh pihak, mulai dari pemilik modal, eksportir, potential buyer, asosiasi, komunitas, pecinta kuliner, praktisi kuliner, penggiat usaha, pemangku kebijakan, hingga masyarakat umum untuk lebih meningktkan dukungannya pada upaya pemberdayaan masyarakat, peningkatan daya saing, dan penguatan posisi Indonesia melalui keaslian dan kualitas produk yang premium.

 

IGIS diinisiasi oleh Arise+ Indonesia yang merupakan salah satu inisiatif kerja sama Uni Eropa-Indonesia dan di bawah lindungan Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. ARISE+ Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kapasitas Indonesia dalam kinerja dan daya saing perdagangan melalui peningkatan kapasitas petani dan asosiasi produsen Indikasi Geografis, peningkatan tata kelola dan regulasi Indikasi Geografis, serta pengembangan strategi branding dan promosi untuk Indikasi Geografis Indonesia. 

 

ABOUT INDONESIA’S GEOGRAPHICAL INDICATION SHOW (IGIS) 2022

When we sip the fragrant tea Preanger while enjoying the Cinnamon Roll, actually we are enjoying a piece of Indonesian wealth. Have we ever imagined, how coffee, tea, pepper, cinnamon, salt, and so on can be in the kitchen or on our dining table?

 

In the world of gastronomy, there is a term “from farm to cup, they come from Far”. Understanding the simple sentence is only one key, namely appreciation. If we are satisfied with a processed coffee for example, usually we will only raise a thumb to the barista. Even though the fact, which determines the taste of coffee is 60% of the process on the ground, 30% of the roasting process, and 10% of the barista expertise. In other words, when we understand a little process of how a spoonful of coffee or a pinch of pepper can get to our hands, then the narrative of how farmers work to manage their geographical advantage so that they can give birth to reputation, character, and the uniqueness of the taste of the product, it will encourage us to further appreciate a piece of Indonesian wealth that on our dining table.

 

Research conducted by several Asian regional business media portals shows that currently culinary is the most popular business field by investors. The research also presents a discussion of the F & B industry growth trend, including a culinary startup. The good news is, currently the culinary startup in Indonesia dominates funding in Asian regions to reach more than the US $ 644 million from private investors, both from within and outside the country. The culinary sector is increasingly wide open, and of course, this can be the entrance for food agricultural products for Indonesian genuine geographical indications to penetrate markets while increasing trade opportunities and investment flows.

 

What is the Indonesian Geographical Indication Show (IGIS)?

IGIS is an initiative to show that geographical indications are more than just a matter of protection and legal recognition of natural and cultural products. Through the approach of the culinary journal, IGIS wants to invite all parties, ranging from capital owners, exporters, potential buyers, associations, communities, culinary lovers, culinary practitioners, business activists, stakeholders, to the general public to increase their support for the community empowerment efforts, improve competitiveness and strengthening Indonesia’s position through the authenticity and quality of premium products.


IGIS was initiated by Arise+ Indonesia which is one of the initiatives of European Union-Indonesian cooperation and under the protection of the Ministry of Law and Human Rights through the Directorate General of Intellectual Property. Arise+ Indonesia aims to increase the capacity of Indonesia in the performance and competitiveness of trade through increasing the capacity of farmers and the association of manufacturers of geographical indications, improving governance and regulation of geographical indications, as well as the development of branding and promotion strategies for Indonesian geographical indications.

Indikasi Geografis adalah tanda yang menunjukkan dari mana suatu produk berasal, yang karena faktor geografis seperti alam dan manusia atau keduanya menghasilkan reputasi, kualitas, dan karakter tertentu. Sebagai hak eksklusif yang diberikan negara kepada daerah asal suatu produk, Indikasi Geografis bersifat teritoris dan lokalitas, yang secara tegas tidak bisa digunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain. 

 

Sistem Indikasi Geografis pertama kali diperkenalkan di Paris, Prancis pada awal abad ke-20 dengan istilah Appellation d’Origine Contrôlée, di mana perlindungan dan pengakuan atas sebuah produk diberikan kepada keju Roquefort saat itu. Sistem tersebut dengan tegas menyatakan, hanya keju yang dihasilkan dari susu domba ras Lacaune dan Manech asli keturunan Basco-Bearnaise serta diolah-disimpan dalam gua-gua Combalou di wilayah Roqueforty-sur-Soulzon saja yang boleh menyandang nama Keju Roquefort. Keju yang dihasilkan di luar ketentuan tersebut tidak bisa menggunakan nama Roquefort. Hal tersebut dilakukan oleh Pemerintah Prancis saat itu untuk mencegah terjadinya saling klaim dan saling berebut nama antar pihak atau wilayah atas keberadaan produk-roduk seperti keju, wine, dan mentega. Prinsip-prinsip itulah yang kemudian pada saat ini lebih dikenal secara global dengan istilah Indikasi Geografis.

Perlindungan dan pengakuan hukum bagi sebuah produk yang dihasilkan suatu daerah menjadi penting, karena di situ ada nilai ekonomis. Tak hanya untuk melindungi keberadaan sebuah produk, Indikasi Geografis sebagai indikator kualitas juga berperan menjaga hak konsumen untuk mendapatkan nilai orisinalitas dari sebuah produk. Indikasi Geografis tidak melulu soal perlindungan dan pengakuan hukum. Saat ini, Indikasi Geografis juga telah menjadi strategi bisnis yang dapat memberikan nilai tambah komersial sebuah produk karena orisinalitas dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi daerah lain.

 

Seperti halnya perlindungan merek, Indikasi Geografis juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran kepada pihak berwenang yang menangani hal tersebut. Bedanya, Indikasi Geografis harus mengatasnamakan daerah atau wilayah dan masyarakatnya. Untuk Indonesia, Indikasi Geografis kewenangannya berada di Kementerian Hukum dan HAM. Indikasi Geografis tidak mengenal batas waktu perlindungan, sepanjang unsur-unsur yang menjadi dasar keunggulannya, seperti reputasi, kualitas, dan karakter dapat terjaga dan dipertahankan. 

 

Perlindungan sistem Indikasi Geografis secara internasional diatur dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights di bawah WTO (World Trade Organization). Berlaku universal, Indikasi Geografis tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Di Indonesia, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016.  Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pembinaan Indikasi Geografis dilakukan oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Pembinaan yang dimaksud meliputi persyaratan permohonan, pendaftaran, pemanfaatan dan komersialisasi, sosialisasi, pemetaan potensi produk, pelatihan dan pendampingan, pemantauan, evaluasi, perlindungan pada fasilitas pengembangan, pengolahan, dan pemasaran produk. 

UNDERSTAND WHAT IS GEOGRAPHICAL INDICATION

Nama Klien
Arto Biantoro

Project
Buku Branding

Brand
Namanya Apa?

Date
2020 – saat ini

Description
Komunikasi, & Kreatif

TERTARIK UNTUK BERKOLABORASI ?
Bahasa / English