Mayarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) adalah kesatuan produsen dan pelaku usaha yang mewakili masing-masing wilayah geografisnya untuk mampu menjaga identitas, kualitas, dan standar produksi, serta menjamin tidak adanya potensi penyalahgunaan atas produk yang telah mendapat perlindungan Indikasi Geografis.
—-
Teh adalah salah satu produk alam yang paling banyak dikonsumsi di dunia dalam bentuk minuman. Sekitar abad ke-16, saat Portugis sedang giat melakukan ekspansi, teh dari Tiongkok dan Srilanka dikirim ke Eropa. Secara cepat, orang-orag Eropa jatuh hati dengan teh. Beberapa negara Eropa seperti Portugis, Belanda dan Inggris kemudian memutuskan untuk mendirikan perkebunan-perkebunan teh skala besar di koloni-koloni mereka di negara tropis. Termasuk di Indonesia. Orang Indonesia mulai mengenal teh sekitar tahun 1700-an, saat teh mulai diproduksi di Indonesia.
Data statistik nasional yang mengacu pada prinsip supply and demand pada pasar dunia, pada tahun 2017 Indonesia menduduki peringkat ke-7 sebagai negara penghasil teh terbesar di dunia dengan angka produksi mencapai sekitar 141.300 ton dan ekspor sebesar 49.000 ton. Itu berarti Indonesia mengekspor 34,67% dari total produksi teh.
Dulu, pemerintah, peneliti, dan akademisi begitu kesulitan memetakan karakter atau ciri khas teh dari wilayah-wilayah penghasil teh di Indonesia. Seperti apa teh dari Sumatera, seperti apa teh dari Jawa Tengah, seperti apa teh dari Jawa Barat dan seterusnya. Setelah melakukan penelitian dan riset lebih mendalam, ternyata bibit teh yang ditanam di sejumlah wilayah di Indonesia sebagian besar berasal dari sumber yang sama. Yaitu dari Srilanka. Wajarlah, karena saat itu hampir semua kebun, bahkan tanaman tehnya pun masih warisan jaman kolonial. Seiring bertambahnya pengetahuan petani soal peremajaan tanaman, rehabilitasi lahan, metode pembibitan, cara tanam, dan optimalisasi lahan, teh yang dihasilkan dari setiap daerah mulai menunjukkan karakterknya masing-masing. Salah satu teh yang menonjol dari segi reputasi, kualitas, dan karakteristik spesifik adalah Teh Java Preanger dari Jawa Barat. Dalam catatan tahun 2014-2019, Teh Java Preanger bersama teh dari wilayah lain di Jawa Barat turut berkontribusi hingga 71 persen pada produksi teh nasional.
Teh Java Preanger, mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis pada tanggal 18 Juli 2016. Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Teh Java Preanger bersama pihak terkait terus berupaya menjaga kualitas teh agar terus terjaga dan semakin dikenal masyarakat luas, salah satunya dengan memberikan bimbingan teknis kepada para petani dari sisi promosi atau perdagangan.
Indikasi Geografis adalah tanda yang menunjukkan dari mana suatu produk berasal, yang karena faktor geografis seperti alam dan manusia atau keduanya menghasilkan reputasi, kualitas, dan karakter tertentu. Sebagai hak eksklusif yang diberikan negara kepada daerah asal suatu produk, Indikasi Geografis bersifat teritoris dan lokalitas, yang secara tegas tidak bisa digunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.
Sistem Indikasi Geografis pertama kali diperkenalkan di Paris, Prancis pada awal abad ke-20 dengan istilah Appellation d’Origine Contrôlée, di mana perlindungan dan pengakuan atas sebuah produk diberikan kepada keju Roquefort saat itu. Sistem tersebut dengan tegas menyatakan, hanya keju yang dihasilkan dari susu domba ras Lacaune dan Manech asli keturunan Basco-Bearnaise serta diolah-disimpan dalam gua-gua Combalou di wilayah Roqueforty-sur-Soulzon saja yang boleh menyandang nama Keju Roquefort. Keju yang dihasilkan di luar ketentuan tersebut tidak bisa menggunakan nama Roquefort. Hal tersebut dilakukan oleh Pemerintah Prancis saat itu untuk mencegah terjadinya saling klaim dan saling berebut nama antar pihak atau wilayah atas keberadaan produk-roduk seperti keju, wine, dan mentega. Prinsip-prinsip itulah yang kemudian pada saat ini lebih dikenal secara global dengan istilah Indikasi Geografis.
Perlindungan dan pengakuan hukum bagi sebuah produk yang dihasilkan suatu daerah menjadi penting, karena di situ ada nilai ekonomis. Tak hanya untuk melindungi keberadaan sebuah produk, Indikasi Geografis sebagai indikator kualitas juga berperan menjaga hak konsumen untuk mendapatkan nilai orisinalitas dari sebuah produk. Indikasi Geografis tidak melulu soal perlindungan dan pengakuan hukum. Saat ini, Indikasi Geografis juga telah menjadi strategi bisnis yang dapat memberikan nilai tambah komersial sebuah produk karena orisinalitas dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi daerah lain.
Seperti halnya perlindungan merek, Indikasi Geografis juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran kepada pihak berwenang yang menangani hal tersebut. Bedanya, Indikasi Geografis harus mengatasnamakan daerah atau wilayah dan masyarakatnya. Untuk Indonesia, Indikasi Geografis kewenangannya berada di Kementerian Hukum dan HAM. Indikasi Geografis tidak mengenal batas waktu perlindungan, sepanjang unsur-unsur yang menjadi dasar keunggulannya, seperti reputasi, kualitas, dan karakter dapat terjaga dan dipertahankan.
Perlindungan sistem Indikasi Geografis secara internasional diatur dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights di bawah WTO (World Trade Organization). Berlaku universal, Indikasi Geografis tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Di Indonesia, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pembinaan Indikasi Geografis dilakukan oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Pembinaan yang dimaksud meliputi persyaratan permohonan, pendaftaran, pemanfaatan dan komersialisasi, sosialisasi, pemetaan potensi produk, pelatihan dan pendampingan, pemantauan, evaluasi, perlindungan pada fasilitas pengembangan, pengolahan, dan pemasaran produk.
UNDERSTAND WHAT IS GEOGRAPHICAL INDICATION
Nama Klien
Arto Biantoro
Project
Buku Branding
Brand
Namanya Apa?
Date
2020 – saat ini
Description
Komunikasi, & Kreatif