Mayarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) adalah kesatuan produsen dan pelaku usaha yang mewakili masing-masing wilayah geografisnya untuk mampu menjaga identitas, kualitas, dan standar produksi, serta menjamin tidak adanya potensi penyalahgunaan atas produk yang telah mendapat perlindungan Indikasi Geografis.
—-
Tidak heran kalau di Kepulauan Riau (Kepri) banyak aneka kuliner hasil olahan dari sagu seperti, Kue Asidah, Bubou Gedegub, Kepurun Manis, Uwok-uwok Gula Merah, Putri Mandi, dan Mie Sagu. Bagi sebagian pulau di Indonesia, sagu memang telah dikategorikan sebagai tanaman kultural, termasuk di Kepri, tepatnya di Kabupaten Lingga yang mendapat julukan “Bunda Tanah Melayu”. Menurut catatan yang diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1919 yang berjudul Publicaties Van De Afdeeling Handel (Publikasi Departemen Perdagangan), tentang Sago gewassen en sago producten (Tanaman sagu dan produk sagu), terangkum berbagai produk olahan sagu di Lingga. Di Kepri sendiri, sagu disebut tanaman kultural karena sejak era Kesultanan Riau Lingga hingga kini tanaman sagu masih terus dibudidayakan secara tradisional dan tetap terjaga kualitasnya.
Sejak 1915, Sagu Lingga mulai diperdagangkan sebagai barang ekspor oleh pemerintah Hindia Belanda. Saat itu, ekspor sagu Lingga jumlahnya terbesar, mengalahkan daerah-daerah lain di nusantara yang juga penghasil sagu. Penanaman sagu di Lingga pun dikembangkan hingga sampai ke wilayah pesisir bagian selatan. Karakteristik lahan di Lingga sangat mendukung dalam pertumbuhan tanaman sagu. Kondisi lahan yang berlumpur, kaya mineral dan unsur organik, serta air tanah yang berwarna kecoklatan sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman sagu.
Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat bagi sebagian masyarakat di berbagai negara. Pati sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk industri pangan dan non pangan. Di beberapa daerah di Indonesia, pati sagu telah menjadi bahan pangan utama untuk memenuhi sumber karbohidrat. Luas lahan sagu di Lingga saat ini diperkirakan mencapai 3.341 Ha, dengan produksi sagu mencapai 2.614 ton per tahun. Sehingga bagi masyarakat Lingga, sagu merupakan salah satu penopang perekonomian bagi masyarakat dan perlu mendapatkan perlindungan.
Dengan dukungan dari Pemerintah Kabupaten Lingga, Perhimpunan Pendayaguna Sagu Indonesia di Kabupaten Lingga melakukan pengajuan perlindungan Indikasi geografis Sagu Lingga. Dengan terbitnya Indikasi Geografis Sagu Lingga pada 2019 akan memberikan perlindungan terhadap seluruh mata rantai produksi Sagu Lingga. Dengan jumlah prouksi yang terus meningkat, baik itu sagu kering, basah maupun tepung, Sagu Lingga saat ini telah menjadi simbol dan spirit ketahanan pangan Kabupaten Lingga. Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Sagu Lingga bersama pemerintah Kabupaten dan dinas terkait lainnya terus melakukan kajian untuk manjaga kualitas serta meningkatkan jumlah produksi Sagu Lingga sesuai dengan karakteristik geografis Lingga.
Indikasi Geografis adalah tanda yang menunjukkan dari mana suatu produk berasal, yang karena faktor geografis seperti alam dan manusia atau keduanya menghasilkan reputasi, kualitas, dan karakter tertentu. Sebagai hak eksklusif yang diberikan negara kepada daerah asal suatu produk, Indikasi Geografis bersifat teritoris dan lokalitas, yang secara tegas tidak bisa digunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.
Sistem Indikasi Geografis pertama kali diperkenalkan di Paris, Prancis pada awal abad ke-20 dengan istilah Appellation d’Origine Contrôlée, di mana perlindungan dan pengakuan atas sebuah produk diberikan kepada keju Roquefort saat itu. Sistem tersebut dengan tegas menyatakan, hanya keju yang dihasilkan dari susu domba ras Lacaune dan Manech asli keturunan Basco-Bearnaise serta diolah-disimpan dalam gua-gua Combalou di wilayah Roqueforty-sur-Soulzon saja yang boleh menyandang nama Keju Roquefort. Keju yang dihasilkan di luar ketentuan tersebut tidak bisa menggunakan nama Roquefort. Hal tersebut dilakukan oleh Pemerintah Prancis saat itu untuk mencegah terjadinya saling klaim dan saling berebut nama antar pihak atau wilayah atas keberadaan produk-roduk seperti keju, wine, dan mentega. Prinsip-prinsip itulah yang kemudian pada saat ini lebih dikenal secara global dengan istilah Indikasi Geografis.
Perlindungan dan pengakuan hukum bagi sebuah produk yang dihasilkan suatu daerah menjadi penting, karena di situ ada nilai ekonomis. Tak hanya untuk melindungi keberadaan sebuah produk, Indikasi Geografis sebagai indikator kualitas juga berperan menjaga hak konsumen untuk mendapatkan nilai orisinalitas dari sebuah produk. Indikasi Geografis tidak melulu soal perlindungan dan pengakuan hukum. Saat ini, Indikasi Geografis juga telah menjadi strategi bisnis yang dapat memberikan nilai tambah komersial sebuah produk karena orisinalitas dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi daerah lain.
Seperti halnya perlindungan merek, Indikasi Geografis juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran kepada pihak berwenang yang menangani hal tersebut. Bedanya, Indikasi Geografis harus mengatasnamakan daerah atau wilayah dan masyarakatnya. Untuk Indonesia, Indikasi Geografis kewenangannya berada di Kementerian Hukum dan HAM. Indikasi Geografis tidak mengenal batas waktu perlindungan, sepanjang unsur-unsur yang menjadi dasar keunggulannya, seperti reputasi, kualitas, dan karakter dapat terjaga dan dipertahankan.
Perlindungan sistem Indikasi Geografis secara internasional diatur dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights di bawah WTO (World Trade Organization). Berlaku universal, Indikasi Geografis tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Di Indonesia, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pembinaan Indikasi Geografis dilakukan oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Pembinaan yang dimaksud meliputi persyaratan permohonan, pendaftaran, pemanfaatan dan komersialisasi, sosialisasi, pemetaan potensi produk, pelatihan dan pendampingan, pemantauan, evaluasi, perlindungan pada fasilitas pengembangan, pengolahan, dan pemasaran produk.
UNDERSTAND WHAT IS GEOGRAPHICAL INDICATION
Nama Klien
Arto Biantoro
Project
Buku Branding
Brand
Namanya Apa?
Date
2020 – saat ini
Description
Komunikasi, & Kreatif