Mayarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) adalah kesatuan produsen dan pelaku usaha yang mewakili masing-masing wilayah geografisnya untuk mampu menjaga identitas, kualitas, dan standar produksi, serta menjamin tidak adanya potensi penyalahgunaan atas produk yang telah mendapat perlindungan Indikasi Geografis.
—-
Pala merupakan produk rempah andalan selain cengkih serta lada, yang sejak ratusan tahun telah menjadi komoditas penting. Buah pala menghasilkan biji dan fuli yang menjadi incaran para saudagar Eropa. Mereka rela berbulan-bulan mengarungi samudera untuk sampai ke Nusantara demi pala. Para saudagar benua biru itu mencari buah pala untuk dijadikan bahan baku parfum, kosmetik, obat-obatan, dan penyedap masakan. Di dalam pala memang terkandung minyak dengan senyawa myristicin, sehingga menimbulkan aroma khas.
Kehadiran gunung Karangetang dengan beragam material vulkaniknya dipercaya ikut membantu peningkatan mutu dan kualitas alamiah buah pala di Pulau Siau. Pohon pala di Siau mampu bertahan hidup hingga ratusan tahun. Di sejumlah daerah sebutan pala beragam. Masyarakat di Halmahera dan Ternate mengenalnya sebagai gosora. Di Pulau Buru disebut sebagai kuhipun dan wilayah Sangir serta Siau dikenal dengan nama palang. Bagi masyarakat Pulau Siau, pala merupakan harta berharga. Pulau Siau yang berada di Sulawesi Utara, sejak lama dikenal sebagai penghasil pala terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Kandungan minyak pada Pala Siau mencapai 80-100 persen dan hal ini menjadi pembeda dengan produk sejenis dari daerah lain yang kadar minyaknya tak lebih dari 50-70 persen.
Selain keunggulan geografis yang disertai pengelolaan tanaman yang sarat dengan nilai kearifan lokal, kualitas Pala Siau tidak bisa dilepaskan dari kemampuan masyarakat Siau yang terasah secara turun temurun dalam ketepatan memilih buah pala yang sudah layak petik. Kemampuan tersebut disebut Mangoepuru atau Mangopur. Bahkan anak-anak di Pulau Siau sudah ahli menakar dengan tepat buah pala mana yang sudah siap untuk dipetik. Ketika panen tiba, anak-anak pulau Siau ikut bersama orang-orang dewasa memanen. Mereka diajarkan untuk mengidentifikasi kualitas buah pala.
Berkat keistimewaan tersebut, Pala Siau menjadi satu-satunya komoditas pala di Indonesia yang telah tersertifikasi indikasi geografis pada Novemver 2015. Berdasarkan data Statistik pada 2020, total luas kebun pala mencapai 4.619,13 hektar dengan jumlah lahan produktif mencapai 3.207,85 hektar. Hasil produksi Pala Siau dan serta produk turunannya tidak hanya untuk pasar dalam negeri. Tetapi komoditas yang kemudian dikenal dengan nama Siau Nutmeg ini juga untuk memenuhi permintaan pasar Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah dan Asia. Hingga 2021 Pala Siau di pasar Eropa masih terbilang tinggi, dengan rata-rata permintaan mencapai 13 hingga 20 ton untuk tiap negara. Dengan Indikasi Geografis, Masyarakat Pelindungan Geografis Pala Siau beserta pihak-pihak terkait bersama para petani terus berupaya menjaga dan melindungi kualitas harta berharga mereka tersebut.
Indikasi Geografis adalah tanda yang menunjukkan dari mana suatu produk berasal, yang karena faktor geografis seperti alam dan manusia atau keduanya menghasilkan reputasi, kualitas, dan karakter tertentu. Sebagai hak eksklusif yang diberikan negara kepada daerah asal suatu produk, Indikasi Geografis bersifat teritoris dan lokalitas, yang secara tegas tidak bisa digunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.
Sistem Indikasi Geografis pertama kali diperkenalkan di Paris, Prancis pada awal abad ke-20 dengan istilah Appellation d’Origine Contrôlée, di mana perlindungan dan pengakuan atas sebuah produk diberikan kepada keju Roquefort saat itu. Sistem tersebut dengan tegas menyatakan, hanya keju yang dihasilkan dari susu domba ras Lacaune dan Manech asli keturunan Basco-Bearnaise serta diolah-disimpan dalam gua-gua Combalou di wilayah Roqueforty-sur-Soulzon saja yang boleh menyandang nama Keju Roquefort. Keju yang dihasilkan di luar ketentuan tersebut tidak bisa menggunakan nama Roquefort. Hal tersebut dilakukan oleh Pemerintah Prancis saat itu untuk mencegah terjadinya saling klaim dan saling berebut nama antar pihak atau wilayah atas keberadaan produk-roduk seperti keju, wine, dan mentega. Prinsip-prinsip itulah yang kemudian pada saat ini lebih dikenal secara global dengan istilah Indikasi Geografis.
Perlindungan dan pengakuan hukum bagi sebuah produk yang dihasilkan suatu daerah menjadi penting, karena di situ ada nilai ekonomis. Tak hanya untuk melindungi keberadaan sebuah produk, Indikasi Geografis sebagai indikator kualitas juga berperan menjaga hak konsumen untuk mendapatkan nilai orisinalitas dari sebuah produk. Indikasi Geografis tidak melulu soal perlindungan dan pengakuan hukum. Saat ini, Indikasi Geografis juga telah menjadi strategi bisnis yang dapat memberikan nilai tambah komersial sebuah produk karena orisinalitas dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi daerah lain.
Seperti halnya perlindungan merek, Indikasi Geografis juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran kepada pihak berwenang yang menangani hal tersebut. Bedanya, Indikasi Geografis harus mengatasnamakan daerah atau wilayah dan masyarakatnya. Untuk Indonesia, Indikasi Geografis kewenangannya berada di Kementerian Hukum dan HAM. Indikasi Geografis tidak mengenal batas waktu perlindungan, sepanjang unsur-unsur yang menjadi dasar keunggulannya, seperti reputasi, kualitas, dan karakter dapat terjaga dan dipertahankan.
Perlindungan sistem Indikasi Geografis secara internasional diatur dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights di bawah WTO (World Trade Organization). Berlaku universal, Indikasi Geografis tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Di Indonesia, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pembinaan Indikasi Geografis dilakukan oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Pembinaan yang dimaksud meliputi persyaratan permohonan, pendaftaran, pemanfaatan dan komersialisasi, sosialisasi, pemetaan potensi produk, pelatihan dan pendampingan, pemantauan, evaluasi, perlindungan pada fasilitas pengembangan, pengolahan, dan pemasaran produk.
UNDERSTAND WHAT IS GEOGRAPHICAL INDICATION
Nama Klien
Arto Biantoro
Project
Buku Branding
Brand
Namanya Apa?
Date
2020 – saat ini
Description
Komunikasi, & Kreatif