MPIG Lada Putih Muntok – Bangka Belitung

Mayarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) adalah kesatuan produsen dan pelaku usaha yang mewakili masing-masing wilayah geografisnya untuk mampu menjaga identitas, kualitas, dan standar produksi, serta menjamin tidak adanya potensi penyalahgunaan atas produk yang telah mendapat perlindungan Indikasi Geografis.

 

—-

 

Pulau Bangka juga dikenal sebagai penghasil lada putih berkualitas. Kehadiran Lada Putih Bangka bermula dari penambangan timah di era Kolonial Belanda. Pada tahun 1880 – 1930, Belanda mendatangkan buruh dari Negeri Tiongkok melalui Penang & Singapura untuk dipekerjakan di pertambangan timah. Namun, setelah beberapa dekade terjadi perubahan sistem penambangan timah dari manual ke mekanik. Perubahan sistem ini mengakibatkan tidak sedikit dari para kuli Tionghoa kehilangan pekerjaannya. Mengatasi hal ini, orang-orang Tionghoa yang semula bekerja sebagai buruh kemudian memutuskan untuk beralih ke sektor pertanian. Salah satunya membudidayaka lada putih. Pada awalnya budidaya lada putih dikembangkan di kota Muntok, bagian barat Pulau Bangka. Dari situlah nama Lada Putih Muntok dikenal hingga sekarang.

 

Dengan aroma dan rasa pedas yang khas, di era 90-an Lada Putih Muntok pernah menjadi ekspor andalan  Indonesia untuk memenuhi setidaknya 40 persen kebutuhan dunia atas lada putih. Namun sayang, demi mengejar keuntungan besar sesaat, sejumlah spekulan yang tidak bertanggungjawab telah menyalahgunakan kepercayaan internasional dengan mengoplos Lada Putih Muntok dengan lada yang kualitasnya jauh di bawah Lada Putih Muntok. Perilaku nakal itu membuat harga Lada Putih Muntok jatuh di pasaran dunia. Hal tersebut memunculkan kegelisahan petani yang merasa telah dicurangi. Para petani menuntut agar ada semacam payung hukum yang bisa menjamin dan melindungi kualitas ladanya untuk mengembalikan kepercayaan konsumen, yang akhirnya akan berujung pada peningkatan nilai ekonomis dan kesejahteraan mereka. 

 

Upaya dan perjuangan sejumlah pihak yang peduli dengan keberadaan Lada Putih Muntok membuahkan hasil. Pada 28 April 2010, Lada Putih Muntok memperoleh hak perlindungan Indikasi Geografis. Para pihak yang kemudian tergabung dalam Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Lada Putih Muntok hingga kini terus berupaya untuk mengembalikan dan menjaga reputasi Lada Putih Muntok melalui keterjaminan ciri khas dan kualitas.

Indikasi Geografis adalah tanda yang menunjukkan dari mana suatu produk berasal, yang karena faktor geografis seperti alam dan manusia atau keduanya menghasilkan reputasi, kualitas, dan karakter tertentu. Sebagai hak eksklusif yang diberikan negara kepada daerah asal suatu produk, Indikasi Geografis bersifat teritoris dan lokalitas, yang secara tegas tidak bisa digunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain. 

 

Sistem Indikasi Geografis pertama kali diperkenalkan di Paris, Prancis pada awal abad ke-20 dengan istilah Appellation d’Origine Contrôlée, di mana perlindungan dan pengakuan atas sebuah produk diberikan kepada keju Roquefort saat itu. Sistem tersebut dengan tegas menyatakan, hanya keju yang dihasilkan dari susu domba ras Lacaune dan Manech asli keturunan Basco-Bearnaise serta diolah-disimpan dalam gua-gua Combalou di wilayah Roqueforty-sur-Soulzon saja yang boleh menyandang nama Keju Roquefort. Keju yang dihasilkan di luar ketentuan tersebut tidak bisa menggunakan nama Roquefort. Hal tersebut dilakukan oleh Pemerintah Prancis saat itu untuk mencegah terjadinya saling klaim dan saling berebut nama antar pihak atau wilayah atas keberadaan produk-roduk seperti keju, wine, dan mentega. Prinsip-prinsip itulah yang kemudian pada saat ini lebih dikenal secara global dengan istilah Indikasi Geografis.

Perlindungan dan pengakuan hukum bagi sebuah produk yang dihasilkan suatu daerah menjadi penting, karena di situ ada nilai ekonomis. Tak hanya untuk melindungi keberadaan sebuah produk, Indikasi Geografis sebagai indikator kualitas juga berperan menjaga hak konsumen untuk mendapatkan nilai orisinalitas dari sebuah produk. Indikasi Geografis tidak melulu soal perlindungan dan pengakuan hukum. Saat ini, Indikasi Geografis juga telah menjadi strategi bisnis yang dapat memberikan nilai tambah komersial sebuah produk karena orisinalitas dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi daerah lain.

 

Seperti halnya perlindungan merek, Indikasi Geografis juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran kepada pihak berwenang yang menangani hal tersebut. Bedanya, Indikasi Geografis harus mengatasnamakan daerah atau wilayah dan masyarakatnya. Untuk Indonesia, Indikasi Geografis kewenangannya berada di Kementerian Hukum dan HAM. Indikasi Geografis tidak mengenal batas waktu perlindungan, sepanjang unsur-unsur yang menjadi dasar keunggulannya, seperti reputasi, kualitas, dan karakter dapat terjaga dan dipertahankan. 

 

Perlindungan sistem Indikasi Geografis secara internasional diatur dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights di bawah WTO (World Trade Organization). Berlaku universal, Indikasi Geografis tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Di Indonesia, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016.  Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pembinaan Indikasi Geografis dilakukan oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Pembinaan yang dimaksud meliputi persyaratan permohonan, pendaftaran, pemanfaatan dan komersialisasi, sosialisasi, pemetaan potensi produk, pelatihan dan pendampingan, pemantauan, evaluasi, perlindungan pada fasilitas pengembangan, pengolahan, dan pemasaran produk. 

UNDERSTAND WHAT IS GEOGRAPHICAL INDICATION

Nama Klien
Arto Biantoro

Project
Buku Branding

Brand
Namanya Apa?

Date
2020 – saat ini

Description
Komunikasi, & Kreatif

TERTARIK UNTUK BERKOLABORASI ?
Bahasa / English