Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) adalah kesatuan produsen dan pelaku usaha yang mewakili masing-masing wilayah geografisnya untuk mampu menjaga identitas, kualitas, dan standar produksi, serta menjamin tidak adanya potensi penyalahgunaan atas produk yang telah mendapat perlindungan Indikasi Geografis.
—-
Sebagai wilayah pesisir, Amed yang berada di Karangasem, Bali terkenal dengan wisata baharinya. Pada saat sekarang pantai Amed banyak digunakan oleh kapal-kapal kecil untuk menyeberang ke Ampenan, Lombok Barat. Dulu, saat Belanda masih menduduki Bali, Amed sempat dijadikan pelabuhan lintas perdagangan asia. Kapal-kapal dagang dari seluruh nusantara bahkan dari Singapura, Hongkong, dan lain-lain berdatangan ke Amed. Namun sayang, tidak ada catatan resmi mengapa Pelabuhan Amed berakhir.
Pantai Amed sangat disucikan oleh masyarakat. Pada saat-saat tertentu sejumlah uparacara adat kerap dilaksanakan di Pantai Amed seperti melasti, ngaben hingga melukat. Penduduk Amed dan sekitarnya memanfaatkan laut dengan bijak, baik sebagai nelayan atau petani garam.
Jika kebanyakan cara produksi garam di beberapa daerah di Indonesia dilakukan dengan cara menjemur atau mengkristalkan air laut di atas permukaan pantai, maka yang dilakukan petani garam di Amed berbeda. Para petani garam di Amed memproduksi garam dengan cara tradsional, mereka tetap melanjutkan cara produksi garam seperti leluhur mereka kerjakan dahulu. Air laut dijemur dalam batang kelapa yang sudah berumur puluhan tahun yang disebut palungan. Air laut dibiarkan terpapar matahari selama 4 hingga 7 hari sampai membentuk kristal garam.
Keunikan Garam Amed tentu saja adalah rasanya. Garam Amed menghasilkan dua sensasi rasa. Asin dengan after taste sedikit pahit, dan asin dengan after taste gurih. Ke duanya sama-sama digemari oleh pasar. Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed Bali adalah penggiat utama dibalik produksi garam unik tersebut.
Pada Desember 2015, MPIG Garam Amed Bali berhasil mengantarkan Garam Amed pada bentuk perlindungan Indikasi Geografis. Untuk memantapkan langkah, MPIG Garam Amed Bali juga melakukan sertifikasi melalui Badan Standarisasi Nasional dan sertifikasi izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Indikasi Geografis Garam Amed Bali patut didukung dan dijaga agar bisa menimbulkan nilai ekonomi melalui kearifan lokal, cara, dan budaya pengolahannya.
Indikasi Geografis adalah tanda yang menunjukkan dari mana suatu produk berasal, yang karena faktor geografis seperti alam dan manusia atau keduanya menghasilkan reputasi, kualitas, dan karakter tertentu. Sebagai hak eksklusif yang diberikan negara kepada daerah asal suatu produk, Indikasi Geografis bersifat teritoris dan lokalitas, yang secara tegas tidak bisa digunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.
Sistem Indikasi Geografis pertama kali diperkenalkan di Paris, Prancis pada awal abad ke-20 dengan istilah Appellation d’Origine Contrôlée, di mana perlindungan dan pengakuan atas sebuah produk diberikan kepada keju Roquefort saat itu. Sistem tersebut dengan tegas menyatakan, hanya keju yang dihasilkan dari susu domba ras Lacaune dan Manech asli keturunan Basco-Bearnaise serta diolah-disimpan dalam gua-gua Combalou di wilayah Roqueforty-sur-Soulzon saja yang boleh menyandang nama Keju Roquefort. Keju yang dihasilkan di luar ketentuan tersebut tidak bisa menggunakan nama Roquefort. Hal tersebut dilakukan oleh Pemerintah Prancis saat itu untuk mencegah terjadinya saling klaim dan saling berebut nama antar pihak atau wilayah atas keberadaan produk-roduk seperti keju, wine, dan mentega. Prinsip-prinsip itulah yang kemudian pada saat ini lebih dikenal secara global dengan istilah Indikasi Geografis.
Perlindungan dan pengakuan hukum bagi sebuah produk yang dihasilkan suatu daerah menjadi penting, karena di situ ada nilai ekonomis. Tak hanya untuk melindungi keberadaan sebuah produk, Indikasi Geografis sebagai indikator kualitas juga berperan menjaga hak konsumen untuk mendapatkan nilai orisinalitas dari sebuah produk. Indikasi Geografis tidak melulu soal perlindungan dan pengakuan hukum. Saat ini, Indikasi Geografis juga telah menjadi strategi bisnis yang dapat memberikan nilai tambah komersial sebuah produk karena orisinalitas dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi daerah lain.
Seperti halnya perlindungan merek, Indikasi Geografis juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran kepada pihak berwenang yang menangani hal tersebut. Bedanya, Indikasi Geografis harus mengatasnamakan daerah atau wilayah dan masyarakatnya. Untuk Indonesia, Indikasi Geografis kewenangannya berada di Kementerian Hukum dan HAM. Indikasi Geografis tidak mengenal batas waktu perlindungan, sepanjang unsur-unsur yang menjadi dasar keunggulannya, seperti reputasi, kualitas, dan karakter dapat terjaga dan dipertahankan.
Perlindungan sistem Indikasi Geografis secara internasional diatur dalam Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights di bawah WTO (World Trade Organization). Berlaku universal, Indikasi Geografis tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Di Indonesia, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pembinaan Indikasi Geografis dilakukan oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Pembinaan yang dimaksud meliputi persyaratan permohonan, pendaftaran, pemanfaatan dan komersialisasi, sosialisasi, pemetaan potensi produk, pelatihan dan pendampingan, pemantauan, evaluasi, perlindungan pada fasilitas pengembangan, pengolahan, dan pemasaran produk.
UNDERSTAND WHAT IS GEOGRAPHICAL INDICATION
Nama Klien
Arto Biantoro
Project
Buku Branding
Brand
Namanya Apa?
Date
2020 – saat ini
Description
Komunikasi, & Kreatif